Korupsi, Falsafah Kearifan Lokal dan Kepemimpinan Pancasila: Refleksi untuk Pejabat Pemerintah

RakyatAceh.Net – Pejabat Pemerintah merupakan pilar utama dalam pelaksanaan pemerintahan. Pejabat pemerintah memikul tanggungjawab yang besar dalam memberi pelayanan dan menjaga kepercayaan rakyat, memastikan tata kelola yang baik serta mewujudkan keadilan sosial.

Namun, korupsi masih menjadi salah satu masalah terbesar yang merusak integritas pemerintahan di berbagai tingkat. Tidak hanya menghambat pembangunan, korupsi juga melemahkan moral birokrasi dan menurunkan kredibilitas negara di mata rakyat.

banner 336x280

Untuk mengatasi masalah ini, pejabat pemerintah perlu kembali pada nilai-nilai dasar yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia: falsafah kearifan lokal dan nilai-nilai luhur Pancasila. Refleksi terhadap kedua nilai ini menjadi penting untuk memperkuat karakter kepemimpinan yang bersih, adil, dan berorientasi pada rakyat.

Korupsi: Ancaman terhadap Legitimasi Pemerintahan

Korupsi adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Bagi pejabat pemerintah, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanah jabatan dan perusakan terhadap sistem tata kelola pemerintahan.

Menurut teori Fraud Triangle yang dikembangkan oleh Donald R. Cressey, seseorang melakukan kecurangan disebabkan oleh tiga komponen utama: tekanan (pressure), peluang (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization).

Dalam konteks pejabat pemerintah, korupsi bisa disebabkan karena adanya tekanan seperti tekanan dari atasan, tekanan karena kebutuhan hidup yang tidak tercukupi atau tekanan akibat gaya hidup. Adanya kesempatan dan peluang karena kurangnya pengawasan dan adanya rasionalisasi berupa pembenaran bahwa korupsi adalah sesuatu yang lumrah misalnya memberi atau menerima suap untuk suatu layanan.

Dalam “menggoda” pejabat pemerintah, korupsi memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk, yaitu Suap dalam perizinan dan pengadaan barang dan jasa. Nepotisme dalam rekrutmen dan promosi jabatan. Penyalahgunaan anggaran pembangunan daerah dan
Kolusi dengan pihak swasta atau politikus.

Dampak dari korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap institusi pemerintah. Dampak korupsi bisa dilihat dari mahalnya harga jasa dan pelayanan publik, masyarakat yang semakin miskin, menghambat pertumbuhan ekonomi dan dari sisi budaya, korupsi semakin menggerus kearifan lokal.

Falsafah Kearifan Lokal, Pilar Etika Nusantara
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya dan tradisi lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Kearifan lokal merupakan kumpulan nilai, norma, dan filosofi hidup yang menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat.

READ  10 Kecamatan di Simeulue Dapat Jatah Kurban Dari Bupati Mohammad Nasrun Mikaris 

Dalam konteks kepemimpinan, kearifan lokal sangat penting untuk diaktualisasikan agar kepemimpinan tersebut tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga berakar pada budaya dan nilai luhur bangsa. Setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal yang kaya nilai-nilai etis dan spiritual yang masih relevan, dapat menjadi rambu-rambu perilaku pejabat publik, contohnya “Hukom ngon Adat Lagee Zat ngon Sifeut”.

Ungkapan “hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut” artinya hukum (syariat Islam) dan adat (budaya lokal) tidak bisa dipisahkan, seperti zat dan sifatnya yang menyatu dan tak terpisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa adat dan hukum dalam masyarakat Aceh memiliki hubungan yang erat dan saling melengkapi. Hal ini mencerminkan bagaimana masyarakat Aceh memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari melalui adat istiadat mereka.

“Duek Pakat” dan “Meuseuraya” (Aceh).
Duek Pakat dalam bahasa Aceh berarti musyawarah atau duduk bersama untuk mencapai kesepakatan. Ini adalah tradisi yang umum di Aceh, terutama di pedesaan, untuk menyelesaikan masalah atau merumuskan rencana bersama.

Duek Pakat biasanya dilakukan dengan cara duduk bersama untuk membahas dan mencari solusi yang disepakati bersama. Duek Pakat sering dilakukan dalam mempersiapkan acara pernikahan, masyarakat dalam suatu Gampong (Desa) bersama-sama menyumbangkan dana dan tenaga untuk membantu warga yang akan melaksanakan acara pernikahan.

Duek Pakat juga dilakukan sebelum melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti turun ke sawah (troen u blang), persiapan Maulid dan persiapan Meuseuraya (gotong royong).
Sedangkan meuseuraya dalam Bahasa Aceh berarti bekerja bersama-sama atau gotong-royong. Merupakan bentuk kerja sama dalam masyarakat Aceh untuk mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan tujuan yang sama.

“Tri Hita Karana” (Bali).
Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta yang mempunyai arti tiga penyebab kebahagiaan atau kesejahteraan.  Konsep ini di pakai masyarakat Bali untuk menekankan pentingnya hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), sesama manusia (Pawongan), dan alam lingkungan (Palemahan).

“Mapalus” (Minahasa).
Mapalus merupakan kearifan lokal masyarakat suku minahasa. Mapalus secara harfiah berarti swadaya masyarakat atau kerjasama. Penerapannya dalam kehidupan masyarakat mencakup hampir semua pekerjaan, baik dalam peristiwa kelahiran, perkawinan, kematian, pembangunan rumah, dan kegiatan produksi pertanian.

Mapalus secara sederhana berarti suatu bentuk kerjasama atau gotong royong dalam bekerja untuk mencapai sesuatu. Istilah Mapalus sendiri merupakan gabungan dari kata ma (saling) dan palus (menuangkan, menumpahkan), demikian secara etimologis Mapalus artinya saling menumpahkan atau menuang.

READ  Ratusan CPNS dan PPPK Simeulue, Terima SK

Mapalus adalah budaya Minahasa yang mencerminkan nilai-nilai seperti keterbukaan, kerjasama, rasa kebersamaan, kedisiplinan kelompok, dan hasil yang bermanfaat. Masyarakat Minahasa memegang prinsip tolong-menolong muncul sebagai pijakan utama dalam pelaksanaan budaya Mapalus, didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat Minahasa saling membutuhkan satu sama lain.

“Marharoan Bolon” (Simalungun).
Marharoan bolon merupakan salah satu tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat   Simalungun hingga saat ini. Dalam bahasa Batak Simalungun, Marharoan bolon artinya “bersama, bersatu, dan serempak,” yang pada hakikatnya berarti kerja sama dan usaha kolektif. Istilah ini sangat melekat dalam budaya Simalungun, yang melambangkan semangat saling mendukung dan bekerja sama untuk tujuan bersama, mirip dengan konsep “gotong royong” di Indonesia.

Kepemimpinan Pancasila: Kompas Etik Bagi Pejabat Pemerintah. Pancasila sebagai dasar negara juga mengandung prinsip-prinsip kepemimpinan yang relevan dan mendesak untuk diterapkan oleh pejabat pemerintah. Kepemimpinan berlandaskan Pancasila menjadikan Pancasila pedoman dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Seorang pemimpin wajib mengetahui, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Kepemimpinan Pancasila mengacu pada sila-sila Pancasila sebagai berikut, yakni 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Pejabat yang beriman akan takut berbuat curang, karena menyadari jabatan adalah amanah Tuhan.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Berada. Memperlakukan rakyat sebagai manusia bermartabat, bukan sebagai objek kepentingan politik atau ekonomi.
3. Persatuan Indonesia. Menghindari sikap sektarian, etnosentrisme, atau politik identitas; mengutamakan kepentingan nasional.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Mengedepankan dialog, musyawarah, dan mendengar suara rakyat sebelum mengambil keputusan strategis. 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Mengalokasikan sumber daya negara secara adil, bukan untuk kepentingan elite, tetapi untuk kesejahteraan bersama.

Kepemimpinan Pancasila bukan hanya tentang nilai, tetapi tentang tindakan nyata yang mencerminkan tanggung jawab publik dan integritas pribadi. Sinergi Kearifan Lokal dan Pancasila: Landasan Etis Melawan Korupsi.

Menggabungkan falsafah kearifan lokal dan nilai-nilai Pancasila akan menciptakan fondasi moral yang kokoh bagi para pejabat pemerintah. Pejabat publik yang menyatu dengan akar budayanya dan berpegang teguh pada Pancasila akan lebih kuat dalam menghadapi godaan kekuasaan dan harta.

READ  Hadapi Event Pra Pora, Atlit Dayung Simeulue Ekstra Latihan di Laut

Pejabat pemerintah sejatinya adalah panutan moral dan etika pemerintahan. Dalam era keterbukaan dan digitalisasi saat ini, rakyat menuntut transparansi, akuntabilitas, dan kepemimpinan yang jujur. Maka, refleksi yang perlu dilakukan setiap pejabat adalah,
Apakah saya sudah menjalankan jabatan dengan penuh integritas?
Apakah keputusan yang saya ambil berpihak pada rakyat atau pada kekuasa

Apakah tindakan saya mencerminkan nilai Pancasila dan etika budaya lokal?
Apakah saya memberi teladan bagi bawahan dan generasi penerus?. Pendidikan karakter kepemimpinan berbasis lokal dan nasional perlu diperkuat, agar para pemimpin tidak kehilangan arah moral. Demikian juga, proses politik dan proses promosi jabatan harus menyeleksi orang-orang yang memiliki rekam jejak integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai luhur bangsa.

Kesimpulan
Korupsi adalah musuh utama bangsa, dan penanggulangannya tidak cukup hanya dengan hukum, tetapi juga dengan pemulihan moral dan karakter pejabat pemerintah. Kembali kepada falsafah kearifan lokal dan kepemimpinan Pancasila, adalah jalan untuk menciptakan pejabat yang tidak hanya kompeten, tetapi juga berjiwa negarawan. Bangsa ini tidak kekurangan aturan, tetapi membutuhkan lebih banyak pejabat yang berani jujur, kuat dalam integritas, dan setia pada nilai-nilai luhur bangsa.

Artikel ini dengan referensi dari berbagai sumber ditulis oleh para peserta Pelatihan Kepemimpinan Administrator (PKA) Angkatan I Tahun 2025 Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Kinerja (Pusjar SKMK) Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI).

Tulisan ini hadir sebagai refleksi bagi peserta (pejabat administrator) yang memegang peran vital dalam menjembatani kebijakan strategis dan implementasi teknis di lapangan. Pejabat Administrator adalah motor penggerak birokrasi yang mengoordinasikan program, membina pelaksana dan memastikan pelayanan publik berjalan efektif.  Namun, jabatan ini juga berada di persimpangan antara kewenangan dan godaan kekuasaan, sehingga sangat rentan terhadap penyimpangan, khususnya korupsi.

Ditulis oleh: Kelompok II Peserta Pelatihan Kepemimpinan Administrator (PKA) Angkatan I Tahun 2025 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN RI)

Referensi :
1. https://kompetensi.fkip.uniba-bpn.ac.id/index.php/jurnal-kompetensi/article/view/107/114
2. https://kemenag.go.id/moderasi-beragama/budaya-mapalus-dan-spirit-kerukunan-masyarakat-sulut-2o3enf
3. https://www.detik.com/bali/budaya/d-6309757/falsafah-tri-hita-karana-pengertian-dan-penerapannya-dalam-kehidupan
4. https://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/12727/8172
5. https://aceh.tribunnews.com/2023/09/18/pengikisan-adat-susila-orang-aceh
6. https://www.rri.co.id/opini/531533/mengenal-meuseuraya-gotong-royong-khas-aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *