RAKYAT ACEH | LHOKSEUMAWE – Zulfikar yang masih berstatus sebagai mahasiswa Aceh, menilai terkait isu 4 pulau di Aceh Singkil, Provinsi Aceh, ada campur tangan dan propaganda pusat untuk kepentingan elit politik.
“4 pulau di Aceh Singkil jadi rebutan penguasa tetangga, tentu ini ada udang di balik pulau Aceh. Padahal itu jelas-jelas masuk dalam kawasan Provinsi Aceh,”ucap Zulfikar dalam keterangannya kepada Rakyat Aceh, Kamis (12/6).
Ia mengatakan, penetapan 4 pulau yaitu Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, Aceh Singkil ke Provinsi Sumatera Utara (Sumut) itu adalah kebijakan yang sakit dari pola pikir Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Menurut Zulfikar secara geografis, ke-4 pulau yaitu Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang lebih dekat kepada daratan Kabupaten Tapanuli Tengah. Namun, ketika verifikasi lapangan, tidak didapatkan bukti yang mendukung kepemilikan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Itu membuktikan adanya kegamblangan dalam mengambil kebijakan, karena masyarakat nelayar disana juga mengikuti peraturan adat yang melarang untuk mengambil ikan di hari Jum’at. “Ini jelas sekali bahwa pulau tersebut emang kepemilikan adat Aceh dan masuk dalam wilayah Aceh serta hukum adat Aceh, tolonglah Aceh jangan diobok-obok lagi,”pinta Zulfikar.
Ia juga menilai, sepertinya maksud tertentu dalam pulau tersebut maka lahirnya frasa “ada udang di balik 4 pulau”. Sehingga ada pertemuan yang dilakukan secara persuasif oleh pemerintah Sumatera Utara untuk mengajak kelola bersama, pertanyaanya? ada apa, sehingga ada opsi untuk kelola bersama. apakah ini cuma jargon politik?
Ketidakjelasan pengakuan Pusat selalu mengucilkan Aceh. Akhirnya, selalu menimbulkan kegaduhan masyarakat. “Ya sepertinya tidak bisa saya abaikan dugaan adanya kaitan dengan kepentingan kelola dan mengelola oleh pemeran kita sebut saja “Ayam Lama Pusat”,”cetusnya.
Ia menyatakan, upaya mempertahankan 4 pulau Aceh harus segera di lakukan secara administratif dan segara mendapatkan kepastian hukum yang kuat. Sehingga tidak ada lagi celah kepentingan, harus ada keberanian politik.
“Koordinasi dan penyelesaian non litigasi tidak selalu menjadi jalan yang tepat, kadang menyimpan banyak celah kepentingan dan dapat menimbulkan lagi masalah ke depan jika ada salah satu oknum yang membuka jalan kepentingan kelola dan mengelola kedepan,”katanya.
Menurutnya, saat ini ada hal yang tidak masyarakat inginkan dengan istilah “Kelola Bersama” hanya akan menjadi narasi manis di awal untuk mempelerai masalah yang mudah dijual ke publik.
Zulfikar mendesak Pemerintah Aceh “Meusaboh Pakat” dalam menyelesaikan kasus ini tanpa adanya ego kepintingan sektoral
“Ini bukan masalah peta dan wilayah saja, ini adalah menyangkut marwah daerah Aceh dan kehidupan berkelanjutan untuk anak bangsa aceh kedepan. Pemerintah Aceh harus benar-benar melakukan tindak andil dalam permasalahan ini, harapan masyarakat Aceh jangan di jadikan sebagai luka,”cetusnya .
Terakhir juga menyampaikan, empat tanah dan pulau kosong itu bukan tanah yang bisa di bagi-bagi, karena di sana menyimpan potensi besar untuk masa depan masyarakat Aceh. (adi/ra)