Menjaga Laut: Kunci Kesejahteraan Nelayan Aceh Berkelanjutan

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

Provinsi Aceh, dengan garis pantai terpanjang keempat di Indonesia dan kekayaan laut yang melimpah, memiliki potensi perikanan yang sangat besar. Namun, potensi ini belum sepenuhnya terkelola untuk kesejahteraan nelayan. Tulisan ini mengangkat urgensi evaluasi dan penguatan Qanun Perikanan Aceh sebagai instrumen utama untuk menjaga keberlanjutan ekosistem, meningkatkan pendapatan nelayan, dan pada akhirnya mendongkrak pendapatan asli daerah. Kolaborasi multipihak menjadi kunci untuk mewujudkannya.

Provinsi Aceh adalah sebuah mozaik kemewahan alam. Dari gumunan pegunungan hijau di Gayo hingga pesona biru Samudera Hindia di barat dan Selat Malaka di timur. Dengan garis pantai mencapai 2.666,27 km (terpanjang keempat di Indonesia), laut adalah nadi kehidupan bagi ratusan ribu warganya. Data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh mencatat, sektor perikanan menyumbang sekitar 8-10% terhadap PDRB Aceh dan menjadi tulang punggung bagi lebih dari 200.000 kepala keluarga nelayan.

Namun, di balik potensi yang begitu besar, bayang-bayang krisis selalu mengintai. Pendapatan nelayan tradisional masih fluktuatif dan seringkali di bawah garis kemakmuran. Penyebabnya multifaktor: musim yang tidak menentu, harga yang tidak stabil, hingga biaya operasional yang tinggi. Namun, akar permasalahan yang paling fundamental adalah degradasi lingkungan laut yang mengancam stok ikan itu sendiri.

Lingkungan yang Terjaga: Fondasi Ekonomi Biru yang Hakiki

Tidak ada nelayan yang bisa menangkap ikan di laut yang kosong. Ini adalah prinsip yang sangat sederhana namun sering terabaikan. Kerusakan terumbu karang akibat penangkapan ilegal dan tidak ramah lingkungan (seperti penggunaan bom dan potasium), penangkapan berlebih (overfishing), serta pencemaran dari aktivitas darat, secara langsung memangkas ‘modal’ utama nelayan.

READ  Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Faktor Utama Kebebasan Diri Demi Kesuksesan Menuju Generasi Emas 2045

Sebuah studi yang dilakukan oleh WWF dan Syiah Kuala University beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa beberapa kawasan terumbu karang kunci di Aceh, seperti di Pulau Weh dan Aceh Barat Daya, mengalami tekanan berat. Padahal, ekosistem terumbu karang adalah ‘rumah’ bagi 25% biota laut, tempat mereka berpijah dan mencari makan. Ketika rumah itu hancur, ikan pun pergi. Imbasnya langsung terasa: hasil tangkapan menyusut, jarak melaut semakin jauh, dan biaya solar pun membengkak.

Di sinilah letak korelasi tak terbantahkan antara lingkungan yang sehat dan pendapatan nelayan. Menjaga laut bukanlah sekadar jargon aktivis lingkungan, melainkan sebuah strategi ekonomi pragmatis untuk menjamin pendapatan nelayan secara berkelanjutan.

Qanun Perikanan: More than Just a Legal Document

Aceh, dengan keistimewaannya, memiliki kewenangan untuk merancang regulasi daerah yang berbentuk Qanun. Qanun bukan sekadar Perda biasa; ia adalah produk hukum yang seharusnya lahir dari nilai-nilai lokal, kearifan, dan kebutuhan khusus masyarakat Aceh. Qanun Perikanan yang kuat, implementatif, dan berkeadilan adalah senjata ampuh untuk memutus mata rantai kerusakan laut ini.

Qanun yang ada saat ini, seperti Qanun Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perikanan, sudah menjadi langkah awal yang baik. Ia mengatur hal-hal penting seperti larangan alat tangkap tidak ramah lingkungan dan zonasi. Namun, evaluasi mendalam sangat diperlukan untuk menjawab tantangan kekinian.

Arah Penguatan Qanun ke Depan

Penguatan Qanun Perikanan ke depan harus fokus pada beberapa aspek krusial: Penegakan Hukum yang Berdaulat dan Konsisten. Qanun sehebat apapun akan menjadi macan ompong tanpa penegakan hukum yang kuat. Diperlukan penguatan kelembagaan dan kapasitas bagi aparat pengawas perikanan di lapangan, baik dari DKP Aceh maupun unsur Kepolisian. Teknologi, seperti penggunaan drone atau sistem pemantauan kapal (Vessel Monitoring System), harus diintegrasikan untuk memantau wilayah perairan yang luas ini. Sanksi harus tegas, tidak hanya bagi nelayan lokal yang nakal, tetapi terutama bagi kapal-kapal asing yang kerap melakukan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing di perairan Aceh.

READ  Perkuat SDM, Penyuluh Agama Islam bentuk Kelompok Majelis Taklim

Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Kecil. Qanun harus menjadi tameng bagi nelayan tradisional. Ini dapat diwujudkan dengan memperkuat kelembagaan nelayan, mendorong skema permodalan dan asuransi yang berpihak pada mereka, dan melindungi wilayah tangkap tradisional dari incaran kapal-kapal besar. Program fishing rights untuk masyarakat pesisir dapat menjadi contoh kebijakan yang memberi kepastian dan rasa memiliki.

Pendekatan Ekosistem dan Zonasi yang Partisipatif. Pengelolaan perikanan harus berbasis science dan data. Kolaborasi dengan akademisi dan LSM untuk pemetaan stok ikan dan kesehatan ekosistem sangat vital. Hasil pemetaan ini harus menjadi dasar untuk menetapkan zonasi-zonasi baru, seperti Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau no-take zones yang melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan

 

pengawasannya (community-based management). Keberhasilan model ini telah terbukti di banyak tempat, seperti di Lamalera atau di Kepulauan Selayar.

Ekonomi Biru dan Peningkatan Nilai Tambah. Qanun harus mampu mendorong industrialisasi hasil perikanan di hilir. Selama ini, banyak hasil laut Aceh diekspor dalam bentuk mentah atau setengah mentah. Qanun dapat mendorong insentif bagi industri pengolahan ikan di daerah, sehingga nilai tambahnya dinikmati oleh masyarakat Aceh sendiri. Ini akan menciptakan lapangan kerja baru dan menstabilkan harga di tingkat nelayan.

Kolaborasi: Pilar Penopang Keberhasilan

Pemerintah Aceh tidak bisa bekerja sendirian. Kolaborasi multipihak adalah sebuah keharusan. Pemerintah Pusat harus mendukung dengan kebijakan yang selaras, pendanaan, dan pengawasan keamanan laut yang lebih ketat. Akademisi dan Peneliti menyediakan data ilmiah dan rekomendasi kebijakan yang berbasis bukti.

LSM dan Organisasi Masyarakat Sipil berperan dalam pendampingan masyarakat, advokasi, dan monitoring independen. Tokoh Adat dan Ulama memiliki pengaruh kuat untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga laut sebagai bagian dari amanah.

READ  Kakanwil Kemenag Aceh Silaturrahmi KUA Peukan Bada

Swasta dapat berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan dan industri pengolahan yang bertanggung jawab. Yang terpenting, Nelayan itu Sendiri harus ditempatkan sebagai subjek, bukan objek kebijakan. Partisipasi mereka dalam setiap tahapan adalah kunci keberhasilan.

Investasi untuk Masa Depan

Memperkuat Qanun Perikanan bukanlah tujuan akhir. Ia adalah sebuah instrumen strategis untuk mewujudkan visi yang lebih besar: Kesejahteraan Nelayan Aceh yang Berkelanjutan.

Laut Aceh yang terjaga adalah jaminan atas piring-piring makan kita, penghidupan bagi anak cucu nelayan, dan sumber pendapatan yang tidak pernah kering bagi daerah. Setiap rupiah yang diinvestasikan untuk melindungi laut hari ini, akan berlipat ganda kembali besok dalam bentuk pendapatan nelayan yang stabil, industri pengolahan yang tumbuh, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meningkat.

Mari kita jadikan Qanun Perikanan yang diperkuat sebagai komitmen bersama. Bukan hanya untuk mengeksploitasi laut, tetapi untuk merawatnya dengan penuh kearifan. Karena menjaga laut Aceh sama dengan menjaga masa depan Aceh itu sendiri.<apridar@usk.ac.id>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *