Setelah Wilayah Masuk Aceh Utara Petani Kopi di Pantan Antara Merasa Terpinggirkan

REDELONG – Cerita mengenai sengketa tapal batas antara Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Utara yang tak kunjung usai, kembali mencuat ke permukaan. Meski dokumen batas administratif mungkin sudah disepakati, nasib ratusan petani kopi di kawasan Pantan Antara masih terkatung-katung dan jauh dari perhatian pemerintah.
Awalnya, Pantan Antara secara administratif masuk dalam wilayah Kampung Rikit Musara, Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah. Namun, sengketa tapal batas yang melibatkan kedua kabupaten ini membuat wilayah itu kini tercatat sebagai bagian dari Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara. Sejak perubahan status ini, nasib masyarakat di Pantan Antara semakin terabaikan.

Sahudin, mantan Reje Kampung Rikit Musara, mengungkapkan kekecewaannya terkait minimnya perhatian pemerintah. Dalam pernyataannya kepada media pada Senin (15/9/), Sahudin menyebutkan bahwa berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) nomor 126 tahun 2022, Pantan Antara kini secara administratif menjadi bagian dari Aceh Utara. Namun, sejak saat itu, segala bentuk perhatian dan bantuan dari pemerintah terhadap daerah ini terhenti.

“Sejak wilayah ini dimasukkan ke dalam Aceh Utara, perhatian pemerintah terhadap kami hilang. Tidak ada lagi anggaran dana desa untuk membangun infrastruktur, dan kami merasa seperti anak terlantar,” ujar Sahudin dengan nada sedih.

Masyarakat Merasa Terabaikan
Akibat kebijakan pemindahan administratif ini, banyak warga Pantan Antara yang merasa nasib mereka terabaikan. Sahudin menambahkan bahwa keputusan pemerintah untuk merelokasi warga ke wilayah baru juga mendapat penolakan keras dari masyarakat, yang mayoritas merupakan penduduk asli Kabupaten Bener Meriah.
“Kami membayar pajak seperti warga lainnya, tetapi pemerintah malah menutup mata. Setiap hari kami harus berjudi nyawa hanya untuk mengangkut hasil panen,” katanya dengan kesal.

READ  Akhirnya PMKS PT MSB II Beri Kompensasi Warga dan Penaburan Bibit Ikan di Sungai Rikit

Jalanan yang rusak parah di daerah ini menjadi momok utama bagi para petani kopi. Jalan yang sudah berstatus “tanjakan neraka” itu menyebabkan banyak warga menjadi korban kecelakaan, terutama saat musim panen tiba. Sahudin menceritakan bahwa sulitnya akses membuat para petani tertekan oleh pengepul yang menekan harga jual kopi mereka.

“Ketika panen raya datang, harga kopi dipaksa jatuh. Bukan karena kecurangan pengepul, tetapi karena kondisi jalan yang sangat buruk. Akses yang sulit membuat kami seperti terjebak dalam lingkaran setan,” ungkap Sahudin.
Tak ada harapan lagi dari pemerintah, membuat warga Pantan Antara memutuskan untuk memperbaiki jalan secara swadaya. Gotong royong menjadi satu-satunya harapan bagi mereka yang telah lama menunggu perhatian pemerintah. “Kami tidak lagi bisa bergantung pada bantuan pemerintah. Kemarin, kami bersama-sama memperbaiki jalan ini dengan dana swadaya. Ini sudah menjadi keharusan, karena kalau kami tidak melakukannya, siapa lagi?” tambah Sahudin.

Masyarakat Pantan Antara sudah sering mengajukan permohonan agar pemerintah segera membangun jalan yang lebih layak, tetapi permohonan tersebut selalu kandas. Konflik tapal batas antara Bener Meriah dan Aceh Utara yang tak kunjung selesai menjadi penghalang utama.

Ratusan bahkan ribuan ton kopi dihasilkan oleh petani Pantan Antara dan Rikit Musara setiap tahunnya, namun kesejahteraan mereka masih jauh dari harapan. Sahudin dan warga setempat berharap agar suatu saat nanti ada pihak yang peduli dan menyampaikan keluh kesah mereka kepada pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat.

“Harapan kami, semoga ada pihak yang peduli dan bisa menyampaikan suara kami kepada pemerintah. Kami hanya ingin masalah tapal batas ini segera diselesaikan, agar kami bisa membangun daerah ini kedepannya tanpa ada lagi hambatan,” pungkas Sahudin.

READ  Anggota DPRK Ini Nilai Sidak Walikota Subulussalam ke PT. SPT Terkesan Hanya Pencitraan

Ketidakpastian yang terus melanda masyarakat Pantan Antara, khususnya para petani kopi, semakin memperburuk kondisi mereka. Sementara itu, perbaikan jalan yang dilakukan secara swadaya ini menunjukkan betapa besar tekad mereka untuk bertahan, meskipun harus melawan ketidakpastian dan minimnya perhatian pemerintah. (uri/mar)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *