Wakaf Produktif: Pondasi Baru Peradaban Aceh yang Berkelanjutan

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh

Bayangkan suatu masa di mana anak-anak Aceh menimba ilmu di universitas kelas dunia milik umat, pasien dhuafa berobat gratis di rumah sakit modern, dan pemuda-pemudi desa menjadi wirausahawan tangguh hasil pelatihan dari pusat bisnis syariah berbasis masyarakat. Semuanya dibiayai bukan oleh utang negara atau anggaran belanja tahunan, tetapi oleh dana abadi dari wakaf produktif yang dikelola secara profesional. Mungkinkah itu terwujud? Jawabannya: sangat mungkin—dan Aceh punya modal besarnya.

Sebagai negeri dengan sejarah panjang dalam peradaban Islam, Aceh sesungguhnya menyimpan kekayaan spiritual dan material yang luar biasa. Salah satunya adalah wakaf. Menurut data Badan Wakaf Indonesia (2023), luas tanah wakaf nasional mencapai lebih dari 530.000 hektar, dengan estimasi nilai aset sekitar Rp 370 triliun. Di Aceh, sebagai Serambi Mekkah, jumlah tanah wakaf tentu tak sedikit. Sayangnya, sebagian besar masih bersifat statis: masjid, kuburan, dan madrasah, yang secara sosial penting, namun belum banyak digarap dari sisi ekonomi.

Wakaf produktif hadir sebagai solusi cerdas. Ini adalah jenis wakaf yang pokoknya tetap, namun manfaatnya terus mengalir melalui pengelolaan aset yang produktif. Seperti tanah yang dijadikan pertanian modern, properti disewakan, atau wakaf uang yang diinvestasikan dalam proyek syariah. Berbeda dengan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) yang cenderung habis dalam jangka pendek, wakaf produktif membangun fondasi yang abadi dan berkelanjutan.

Konsep ini bukan hal baru. Dalam sejarah Islam, wakaf produktif adalah mesin utama kemajuan. Universitas Al-Azhar di Kairo berdiri dan bertahan lebih dari 1.000 tahun karena dana wakaf. Begitu pula rumah sakit, perpustakaan, dan pusat irigasi di era Abbasiyah. Wakaf bukan sekadar ibadah, tapi strategi pembangunan.

Mengapa ini relevan bagi Aceh hari ini?

Pertama, Aceh memiliki kebutuhan pembangunan berkelanjutan yang sangat besar, dari pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi rakyat. Kedua, Aceh punya budaya wakaf yang mengakar kuat. Ketiga, Aceh memiliki status otonomi khusus, yang memungkinkan hadirnya regulasi (Qanun) yang progresif dalam pengelolaan wakaf. Ini adalah kombinasi unik yang tidak dimiliki semua daerah.

Potensi wakaf produktif bisa menjadi game-changer. Tanah wakaf di pusat kota Banda Aceh dapat dikembangkan menjadi pusat perdagangan syariah atau hotel islami. Lahan luas di pedalaman bisa dikelola menjadi perkebunan nilam, karet, atau sawit rakyat dengan sistem bagi hasil (musyarakah/mudharabah). Dana wakaf tunai bisa diinvestasikan dalam surat berharga syariah atau pembiayaan UMKM halal.

Namun, potensi tidak akan bermakna tanpa pengelolaan yang profesional dan transparan. Tantangan terbesar kita hari ini bukan soal niat, tapi soal manajemen, Dimana pengelolaan dana ZIS dan wakaf kerap tersandung pada masalah transparansi dan kapabilitas.

Untuk itu, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan: Pertama Digitalisasi dan Audit Aset Wakaf. Kita butuh pemetaan menyeluruh: berapa luas tanah wakaf di Aceh? Di mana letaknya? Apa status hukumnya? Sistem informasi wakaf berbasis digital akan membantu pengambilan kebijakan dan memperkuat kepercayaan publik.

Kedua Peningkatan Kualitas Nazir. Nazir sebagai pengelola wakaf harus memiliki kemampuan tidak hanya dalam hal agama, tapi juga bisnis, keuangan, dan hukum. Sertifikasi nazir dan pelatihan berkelanjutan harus menjadi agenda prioritas. Kolaborasi dengan kampus, pesantren, dan pelaku usaha sangat krusial.

Ketiga Kolaborasi Pemerintah dan Lembaga ZIS. Dana ZIS bisa menjadi stimulus awal untuk membangun aset wakaf produktif. Pemerintah daerah dapat memberi insentif fiskal dan kemudahan perizinan. Wakaf harus masuk ke dalam RPJM Daerah sebagai bagian dari strategi pembangunan jangka panjang.

Keempat Edukasi dan Transparansi untuk Publik. Masyarakat harus yakin bahwa wakaf mereka akan dikelola secara amanah dan produktif. Publikasi laporan keuangan rutin, audit independen, dan kisah sukses pengelolaan wakaf akan memperkuat semangat mewakafkan.

Kini saatnya Aceh melangkah. Bukan sekadar menjaga warisan, tapi menumbuhkannya menjadi mesin peradaban. Kita harus berani bermimpi besar: membangun universitas riset kelas dunia, rumah sakit pendidikan bertaraf internasional, hingga dana abadi beasiswa untuk generasi emas Aceh semua dari wakaf produktif.

Jika kita berhasil, Aceh tidak hanya akan menjadi contoh sukses di tingkat nasional, tapi juga dunia Islam. Wakaf produktif akan menjadi wajah baru peradaban Aceh: modern, mandiri, dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.

Membangun peradaban bukan kerja satu hari, tapi butuh pondasi yang kokoh. Dan di antara batu bata peradaban itu, wakaf produktif adalah salah satu yang paling kuat. Mari kita mulai dari sekarang. <apridar@usk.ac.id>