Tadarus, Zikir Akbar dan Meugang: Menjaga Seni dan Tradisi Aceh sebagai Pilar Pendidikan dan Keilmuan

Oleh : Ichsan MSn.
Ketua Jurusan Seni Rupa dan Desain ISBI Aceh
Manager Museum Kota Juang Bireun

SEBAGAI provinsi dengan julukan Serambi Makkah, Aceh memiliki kekayaan tradisi yang tidak hanya memperkokoh nilai-nilai spiritual masyarakatnya, tetapi juga berfungsi sebagai wahana pendidikan sosial. Bulan Ramadhan di Aceh bukan sekadar ibadah puasa semata, melainkan juga momentum penguatan karakter, penyebaran ilmu pengetahuan, serta pelestarian kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.

banner 336x280

Tradisi-tradisi seperti tadarrus massal, zikir akbar, bahkan meugang seperti yang telah terlewatkan pada beberapa hari sebelum bulan ramadhan serta budaya berbuka puasa bersama tidak hanya menjadi ajang mempererat ukhuwah Islamiyah, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Kegiatan ini membentuk generasi muda dapat belajar tidak hanya tentang Islam, tetapi juga tentang nilai kebersamaan, kedisiplinan, dan ilmu pengetahuan yang dikaitkan dengan perkembangan zaman.

Dalam perjalanan, tantangan modernisasi sering kali mengikis tradisi ini. Budaya luar yang semakin merasuki kehidupan generasi muda berisiko menjauhkan mereka dari nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu, menjaga kearifan lokal di bulan Ramadhan seperti tadarrus massal, zikir akbar, dan meugang serta budaya berbuka puasa bersama menjadi tugas bersama agar tradisi ini tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Di Aceh, tadarrus Al-Qur’an dilakukan secara berjamaah dan telah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh selama Ramadhan. Kegiatan ini dilaksanakan di masjid-mesjid, meunasah, ataupun rumah-rumah. Suara lantunan ayat suci menjadi bagian dari atmosfer Ramadhan yang khas di bumi serambi makkah.

Tradisi ini memiliki dimensi pendidikan yang sangat kuat. Kegiatan ini memperkuat budaya literasi Islam di kalangan generasi muda. Dalam tradisi ini, anak-anak dan remaja dilatih membaca Al-Qur’an dengan baik, memahami tajwid, serta menghafal ayat-ayat tertentu. Selain itu kegiatan tadarus menciptakan ekosistem belajar berbasis komunitas, di mana anak-anak belajar dari orang tua, ulama, atau guru agama secara langsung.

Meski demikian, berbagai tantangan muncul menurunnya minat generasi muda terhadap tradisi ini. Diantara tantangan yang muncul diantaranya adalah pengaruh media sosial dan teknologi yang sering kali membuat generasi muda lebih tertarik pada aktivitas digital daripada belajar Al-Qur’an secara langsung. Dalam hal ini, kita dapat memberi sebuah solusi bahwa mengintegrasikan teknologi dalam proses tadarrus adalah keharusan. Aplikasi digital yang memudahkan pembelajaran Al-Qur’an dapat menjadi alat bantu, tanpa menghilangkan nilai-nilai interaksi sosial dalam tradisi ini.

Selain tadarus, zikir akbar menjadi salah satu tradisi khas Aceh yang biasanya dilakukan selama Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Dibeberapa daerah di Aceh, ribuan orang berkumpul di masjid dan lapangan untuk melantunkan zikir bersama. Kegiatan ini menciptakan suasana spiritual yang mendalam.

Tradisi ini mengajarkan pentingnya ketenangan batin dan ketahanan mental dalam menghadapi kehidupan. Dalam dunia yang penuh tekanan dan kompetisi, nilai-nilai ini sangat relevan bagi generasi muda. Tantangan adalah bagaimana membuat zikir akbar tetap menarik bagi generasi digital. Pendekatan inovatif, seperti menghadirkan ulama muda yang memahami psikologi generasi milenial dan Gen Z, dapat menjadi solusi. Selain itu, penyampaian materi spiritual dalam bentuk audiovisual juga dapat menjadi perhatian khusus.

Selain tadarus dan zikir akbar, meugang telah tradisi yang sangat kuat. Meugang selalu dilaksanakan satu sampai dua hari sebelum memasuki bulan Ramadhan dan bulan Syawal. Kegiatan ini dilakukan dengan menyambut Ramadhan dengan menyembelih hewan dan membagikan daging kepada keluarga, kerabat, dan masyarakat yang membutuhkan. Tradisi ini bukan sekadar perayaan, tetapi memiliki makna filosofis yang dalam.

Bagi generasi muda, meugang adalah momentum belajar tentang nilai solidaritas sosial. Mereka diajarkan bahwa kesejahteraan bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga kolektif. Orang-orang yang mampu diwajibkan berbagi dengan yang kurang mampu. Konsep ini sangat relevan dalam konteks pendidikan sosial, di mana nilai empati, gotong royong, dan kepedulian sosial perlu ditanamkan sejak dini.

Namun, dalam era modern, pelaksanaan meugang tampak mengalami sedikit pergeseran. Sebagian besar masyarakat lebih berorientasi pada konsumsi daripada makna filosofis di balik tradisi ini. Oleh karena itu, pendidikan berbasis kearifan lokal harus kembali diperkuat, misalnya dengan mengadakan diskusi dan kajian tentang nilai sosial dalam tradisi meugang di sekolah-sekolah dan pesantren.

Perlu kita sadari, selain aspek spiritual dan sosial, tradisi Ramadhan di Aceh juga memiliki dimensi keilmuan. Sejak era Kesultanan Aceh, masjid dan meunasah tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat pembelajaran. Di bulan Ramadhan, pengajaran agama Islam dapat terus dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan umum seperti sejarah, astronomi, dan kedokteran Islam. Kita akui bahwanya tradisi ini mulai memudar. Generasi muda cenderung menganggap ilmu agama dan ilmu umum sebagai dua entitas yang terpisah. Padahal, sejarah mencatat bahwa ulama besar Aceh seperti Syekh Abdurrauf As-Singkili dan Syekh Syamsuddin As-Sumatrani mengajarkan kedua aspek tersebut secara beriringan.

Namun demikian, diantara solusi yang dapat diterapkan adalah dengan merevitalisasi kembali peran masjid sebagai pusat pembelajaran terpadu. Langkah ini dapat diambil oleh DMI atau Pemerintah setempat. Pengajaran di bulan Ramadhan harus mencakup diskusi ilmiah yang menghubungkan ajaran Islam dengan perkembangan teknologi, sains, dan peradaban modern.

Misalnya, dalam kajian Ramadhan, para ulama dapat mengaitkan ilmu falak (astronomi Islam) dengan teknologi perhitungan kalender Islam digital. Dengan cara ini, generasi muda akan lebih memahami bahwa Islam tidak anti-ilmu pengetahuan, tetapi justru mendorong eksplorasi dan inovasi.

Melestarikan kearifan lokal Ramadhan tidak dapat hanya mengandalkan komunitas, tetapi juga harus melibatkan keluarga dan lembaga pendidikan. Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak-anak. Oleh karena itu, orang tua harus aktif dalam mengenalkan tradisi-tradisi Ramadhan sejak dini.

Di era digitalisasi seperti sekarang ini, sekolah-sekolah dan pesantren di Aceh perlu mengadopsi metode pembelajaran berbasis seni dan budaya. ISBI Aceh sebagai Perguruan Tinggi Seni dan Budaya dapat menjadi fasilitatornya. Tentu di ikuti oleh berbagai perguruan tinggi lainnya seperti Unsyiah, UIN Arraniry ataupun perguruan tinggi lainnya. Misalnya, dalam kurikulum pendidikan Islam, perlu dimasukkan materi tentang kearifan lokal Aceh agar anak-anak didik tidak hanya mengenal Islam secara tekstual, tetapi juga dalam konteks sosial dan budaya mereka sendiri.

Dengan demikian, kita memahami bahwa ramadhan di Aceh bukan hanya soal ibadah individu, tetapi juga ajang pembelajaran sosial, spiritual, dan intelektual. Tradisi seperti tadarrus massal, zikir akbar dan meugang mengandung nilai-nilai luhur yang harus terus diwariskan kepada generasi muda.

Tantangan modernisasi dan globalisasi mengharuskan kita untuk berinovasi dalam melestarikan tradisi ini. Integrasi teknologi dalam pendidikan agama, penguatan peran keluarga, serta revitalisasi masjid sebagai pusat keilmuan adalah beberapa solusi konkret yang dapat diterapkan.

Dengan menjaga kearifan lokal di bulan Ramadhan, kita tidak hanya melestarikan warisan nenek moyang, tetapi juga membangun fondasi pendidikan yang kuat bagi generasi masa depan. Aceh, sebagai Serambi Makkah, harus tetap menjadi contoh bagaimana tradisi dan ilmu pengetahuan dapat berjalan beriringan dalam membentuk masyarakat yang religius, berpendidikan, dan berdaya saing tinggi.

READ  Semangat Ramadan: Cerminan Semangat Mengembangkan Perekonomian di Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *