BANDA ACEH – Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, menyebut Aceh terancam kehilangan potensi pendapatan daerah sebesar Rp4,7 triliun dari sektor migas akibat belum dialihkannya pengelolaan sejumlah blok migas dari SKK Migas ke Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
Ia menyamakan kondisi ini dengan praktik “pembegalan”, seperti yang terjadi dalam kasus empat pulau di Aceh Singkil.
“Mungkin tidak banyak orang tahu tentang persoalan migas ini. Tapi sebenarnya prosesnya hampir sama dengan pembegalan pulau juga. Bedanya, kalau pulau itu terlihat, tapi migas ini tidak tampak karena di bawah tanah dan sistematis,” ujar Safaruddin dalam konferensi pers “Mengawal Migas Aceh dari Upaya Pembegalan Kementerian ESDM”, Rabu (18/6/2025) di Banda Aceh.
Menurut Safaruddin, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 Pasal 90 telah dengan tegas menyatakan bahwa setelah BPMA terbentuk, seluruh kontrak kerja sama migas di wilayah Aceh (baik darat maupun laut hingga 12 mil) harus dialihkan dari SKK Migas ke BPMA.
Namun faktanya saat ini, kata Safaruddin, sejumlah blok migas di Aceh yaitu di Kuala Simpang Barat, Kuala Simpang Timur, dan Rantau Perlak masih dikelola oleh Pertamina dan masih berkontrak dengan SKK Migas.
Akibat belum dialihkannya pengelolaan ini, sebutnya, Pemerintah Aceh tidak memiliki akses untuk mengetahui secara pasti berapa besar pendapatan dari blok-blok migas tersebut.
Safaruddin menyebutkan, berdasarkan asumsi dari produksi harian blok migas di Aceh Tamiang sebesar 2.500 BOPD (barrel oil per day), potensi pendapatan untuk Aceh selama sepuluh tahun terakhir bisa mencapai Rp4,7 triliun.
“Asumsinya, dari satu blok di Aceh Tamiang saja, Aceh seharusnya sudah mendapatkan Rp4,7 triliun. Itu hanya satu blok selama 10 tahun,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Safaruddin menjelaskan bahwa upaya advokasi terhadap hal ini telah dilakukan sejak 2021. Saat itu, anggota DPRA Asrizal Asnawi menggugat Kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina, dan BPMA ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu kemudian dicabut setelah tercapai kesepakatan bahwa seluruh pihak akan menjalankan Pasal 90 PP 23/2015, dan Asrizal diberi akses memantau implementasinya.
“Namun proses tersebut tidak berjalan, bahkan Kementerian ESDM, SKK Migas dan Pertamina tidak menjawab ketika dimintai progres implementasi perdamaian tersebut,” ujarnya.
Pada 2023, lanjut Safaruddin, gugatan yang sama kembali diajukan oleh perwakilan YARA di Aceh Tamiang dan di Aceh Timur. Saat proses sidang berjalan, Menteri ESDM pada saat itu, Arifin Tasrif, mengeluarkan surat tentang pengalihan sebagian wilayah kerja kepada BPMA.
Surat tersebut menyebutkan bahwa kontrak Pertamina EP di wilayah Aceh akan dicarve-out dan dialihkan ke afiliasi khusus yakni PT Pertamina Hulu Energi Aceh Darussalam.
“Curved out itu pemotongan kontrak. Jadi, Pertamina itu dia berkontrak, namanya kontrak nusantara. Dengan adanya Aceh sebagai daerah khusus, wilayah Aceh itu tidak bisa berkontrak dengan SKK Migas, tapi harus berkontrak dengan BPMA. Makanya, kontraknya itu dicarved-out,” jelas Safaruddin.
Pemerintah Aceh melalui Pj Gubernur Aceh saat itu, Safrizal ZA, menyetujui ketentuan tersebut pada 30 Oktober 2024, setelah proses yang cukup panjang.
“Namun seharusnya setelah persetujuan Gubernur itu, Menteri ESDM segera mengeluarkan keputusan untuk menetapkan kontrak baru antara BPMA dan Pertamina Hulu Energi Aceh Darussalam. Tapi sampai sekarang, itu tidak dilakukan. Dan kita berpotensi tidak mengetahui berapa migas kita yang hilang di 2 blok tersebut,” kata Safaruddin.
Akibat ketidakjelasan ini, pengelolaan dua blok migas di Aceh Tamiang dan Aceh Timur masih dipegang oleh Pertamina EP dan SKK Migas.
“Kami menilai perbuatan mendiamkan proses alih kelola migas ini menyerupai upaya pembegalan hasil migas Aceh. Sama seperti pembegalan terhadap empat pulau kita yang akhirnya bisa diselesaikan secara bijak oleh Presiden,” tegasnya.
Safaruddin berharap persoalan ini juga mendapat perhatian yang sama seperti kasus empat pulau di Aceh Singkil yang sempat disengketakan.
“Empat pulau itu masih perlu waktu untuk kita jaga supaya menghasilkan. Nah, migas ini sudah ada hasilnya, sudah jadi uang. Tapi kenapa tidak kita jaga? Ini kan bisa menjadi salah satu sumber pendapatan bagi aceh untuk menyejahterakan masyarakat,” tutup Safaruddin. (Mag-01)