Humam Hamid: “Helsinki Mengakhiri Perang, Tapi Damai Belum Menang”

Pidato Peringatan 20 Tahun Perdamaian Aceh – ERIA School of Government, Jakarta

Rakyat Aceh | Jakarta – Dalam pidatonya di acara peringatan 20 tahun Perdamaian Aceh yang diselenggarakan oleh ERIA School of Government di Jakarta, tokoh masyarakat sipil Aceh, Ahmad Humam Hamid—yang telah lama terlibat dalam advokasi HAM dan perdamaian pada masa konflik serta sangat aktif dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami—menegaskan bahwa meski Perjanjian Helsinki 2005 berhasil mengakhiri perang, pekerjaan untuk memenangkan damai masih jauh dari selesai.

Humam mengawali pidato dengan penghormatan kepada ERIA yang, menurutnya, “telah mengabadikan memori publik di tengah kompleksitas nasional, regional, dan global.” Ia kemudian mengungkapkan pengalaman pribadinya yang unik—hidup melewati dua bencana besar sekaligus: konflik bersenjata yang berlangsung selama puluhan tahun dan tsunami 2004 yang memporakporandakan Aceh.

“Perjanjian Helsinki lahir bukan dari euforia kemenangan, melainkan dari kebijaksanaan untuk berhenti,” ujar Humam. Ia menekankan bahwa keberhasilan mencapai kesepakatan damai tidak bisa dilepaskan dari peran kunci Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mendorong proses negosiasi, membangun kepercayaan, serta memberi mandat penuh kepada tim perunding. Humam juga menyebut peran Martti Ahtisaari, Hamid Awaluddin, dan Malik Mahmud sebagai jembatan penting yang menuntun pada tercapainya perjanjian, dengan landasan kebijakan yang telah diletakkan oleh Presiden B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri.

Humam juga menyoroti bahwa selama 18 tahun terakhir, Aceh telah menerima lebih dari Rp100 triliun dana otonomi khusus, ditambah pendapatan dari sektor migas dan berbagai transfer fiskal lainnya, menjadikannya salah satu provinsi dengan kapasitas fiskal terbesar di Indonesia. Namun, ia mengingatkan bahwa angka tersebut belum sepenuhnya terkonversi menjadi kesejahteraan yang merata.

“Jika damai diukur dari rendahnya angka kemiskinan, dari layanan kesehatan yang layak, dari gizi anak yang terbebas dari stunting, dan dari tata kelola yang bersih—maka damai di Aceh belum menang,” tegasnya.

READ  Jelang Akhir OPS Seulawah, Satlantas Abdya Tilang Puluhan Pelanggar

Mengakhiri pidatonya, Humam menyerukan agar para pemimpin Aceh memandang pemerintahan pascakonflik bukan sebagai kelanjutan perang dengan cara lain, melainkan sebagai kesempatan untuk melayani rakyat. “Dua puluh tahun lalu dunia membantu Aceh mengakhiri perang. Dua puluh tahun mendatang, sejarah akan mengukur apakah hadiah itu benar-benar menjadi milik rakyatnya,” pungkasnya.

Tentang ERIA School of Government
ERIA School of Government adalah lembaga yang berfokus pada pengembangan kebijakan publik di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, dengan misi membangun kapasitas kepemimpinan berbasis riset, dialog, dan kolaborasi internasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *