Menyambung Asa di Tengah Pegunungan : Ketika Warga Mesidah Bersuara dalam Jumat Curhat

RAKYAT ACEH | Di antara perbukitan yang diselimuti kabut pagi dan aroma kopi yang semerbak dari kebun-kebun rakyat, warga Desa Jamur Atu, Kecamatan Mesidah, Kabupaten Bener Meriah, berkumpul di balai desa.

Hari itu bukan hari biasa. Jumat, 1 Agustus 2025, mereka kedatangan tamu istimewa: Kapolres Bener Meriah, AKBP Aris Cai Dwi Susanto, S.I.K., M.I.K., dalam rangka kegiatan “Jumat Curhat.”

Bukan seremoni mewah yang diharapkan, bukan pula sekadar formalitas belaka. Yang mereka nantikan adalah kesempatan untuk didengar.

Satu per satu warga mulai berbicara, dengan suara lirih tapi jujur. Ada rasa gugup, tapi juga semangat. Seorang petani kopi bercerita tentang bahaya yang mengintai di jembatan Wih Kanis setiap musim panen. “Motor sering tergelincir saat hujan. Beberapa kali kami nyaris celaka,” ucapnya.

Kisah itu bukan satu-satunya. Ada pula keluhan soal jalan licin, drainase tersumbat, dan pencahayaan jalan yang minim. Tapi dari semua yang disampaikan, yang paling mencolok adalah rasa ingin tahu generasi muda tentang masa depan mereka. Beberapa pemuda juga bertanya tentang rekrutmen Polri. Kapan dibuka? Bagaimana prosesnya?

Pertanyaan itu menjadi sinyal bahwa anak-anak desa pun menyimpan cita-cita. Mereka ingin berkontribusi, ingin mengabdi. Mereka ingin menjadi bagian dari solusi, bukan hanya penonton perubahan.

Polisi yang Mau Mendengar, Bukan Sekadar Mengawasi

Kapolres Bener Meriah tidak datang dengan wajah birokratis. Ia duduk sejajar dengan warga, menyimak dengan saksama, dan merespons satu per satu pertanyaan yang diajukan. Tidak ada sekat. Ia menjelaskan bahwa kejahatan bisa terjadi ketika tiga hal bertemu: niat pelaku, kesempatan, dan ketiadaan pengawasan. Karena itu, kata dia, menjaga keamanan adalah tanggung jawab bersama.

Terkait kondisi jembatan Wih Kanis, tanpa ragu ia langsung memerintahkan jajarannya, khususnya Kasat Lantas, untuk segera menyurati Dinas PU agar dilakukan kajian teknis. “Jangan tunggu jatuh korban,” katanya. Kata-kata itu membuat warga mengangguk, ada rasa lega yang perlahan tumbuh.

READ  Batalyon Pameu Dalam Pengerjaan, BTS Baru Dibutuhkan Segera

Mengenai penerimaan anggota Polri, ia menjawab dengan jujur bahwa saat ini belum dibuka. Namun informasi akan segera disebarkan begitu pendaftaran resmi dimulai, dan para kepala desa akan menjadi jembatan informasi tersebut.

Lebih dari Sekadar Curhat

Jumat Curhat bukanlah program baru, tetapi di Mesidah ia terasa berbeda. Mungkin karena desa ini letaknya cukup jauh dari pusat kota, atau mungkin karena selama ini warga merasa aspirasi mereka hanya berhenti di rapat-rapat desa. Kehadiran langsung Kapolres memberi warna baru: ada perasaan dihargai.

Warga tak hanya bicara, mereka didengarkan. Dan lebih dari itu, mereka melihat aksi nyata dari setiap keluhan yang mereka sampaikan. Bagi sebagian besar masyarakat desa, kepercayaan terhadap aparat bukanlah sesuatu yang otomatis ada.

Ia tumbuh dari pertemuan-pertemuan seperti ini—pertemuan yang membangun jembatan rasa, bukan sekadar infrastruktur.

Polisi Bukan Lagi Sosok yang Ditakuti

Dulu, sosok polisi seringkali identik dengan ketegangan. Ketika anak-anak menangis, orang tua berkata, “Awas, nanti dipanggil polisi.” Tapi lewat pendekatan humanis seperti Jumat Curhat, paradigma itu mulai berubah.

Di Jamur Atu, anak-anak mendekat untuk melihat polisi lebih dekat, bahkan berfoto bersama. Mereka tak lagi takut. Mereka penasaran, kagum, bahkan mungkin suatu hari nanti akan berkata, “Aku ingin jadi polisi seperti Pak Aris.” Itulah kekuatan dari mendekat. Dari bertemu. Dari menyapa.

Ketika acara Jumat Curhat usai, warga perlahan membubarkan diri. Ada yang kembali ke kebun, ada yang pulang membawa anaknya, dan ada pula yang masih berbincang kecil dengan aparat yang hadir.

Tapi yang pasti, tidak ada yang pulang dengan tangan kosong. Mereka pulang dengan harapan—bahwa suara mereka didengar, dan mungkin akan ada perubahan.

READ  Marak Maling Specialis Bobol Rumah di Gunung Salak

Kapolres pun meninggalkan desa dengan pesan sederhana namun kuat: “Kami datang bukan hanya untuk mendengar, tetapi untuk menjadi bagian dari solusi.”

Kegiatan seperti Jumat Curhat bukanlah solusi final dari semua persoalan yang ada. Tapi ia adalah langkah awal—sebuah titik temu antara pengambil kebijakan dan warga yang menjalani kenyataan. Di tengah keterbatasan, harapan tetap bisa tumbuh Dan di Mesidah, harapan itu bernama kehadiran.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *