Rakyat Aceh|Meureudu – Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu DPR, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu DPRD dan menyatukan Pilkada bersama Pemilu legislatif daerah turut berdampak terhadap kekhususan Aceh.
Putusan tersebut, secara langsung meruntuhkan ketentuan pemilihan di Aceh baik Pemilihan anggota DPRA dan DPRK serta Gubernur/wakil gubernur, Bupati/wakil bupati dan Walikota/wakil walikota sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Karena putusan tersebut, telah meruntuhkan semangat perdamain Aceh, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Pidie Jaya, A Kadir Jailani, mendesak pelaksanaan pemilihan di Aceh tetap dilaksanakan lima tahun sekali bersama dengan Pemilu DPR, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden.
Kata A Kadir, desakan pelaksanaan pemilihan di Aceh bersama dengan Pemilu nasional itu, untuk negara secara tegas mengakui kekhususan Aceh yang berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia serta menjaga semangat damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki.
” Menanggapi putusan MK nomor nomor 135/PUU-XXII/2024, untuk Pemilihan di Aceh, baik pemilihan DPRA, DPRK dan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, kami berpandangan untuk dilaksankan bersamaan dengan Pemilu nasional,” ujar A Kadir Jailani, kepada Rakyat Aceh, Kamis (31/7).
Desakan Ketua DPRK Pidie Jaya tersebut, bukan tanpa alasan. Dalam pandangannya, UUD 1945 secara tegas diberi ruang bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali sebagaimana diatur dalam pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) dan Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh pasal 65.
Dalam ayat (1) pasal 22E UUD 1945 jelas disebutkan bahwa, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umim, bebas, rahasia, jujur dan adik setiap lima tahun sekali.
Sedangkan dalam ayat (2) dijelaskan, pemilihan umum diselanggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD.
Sementara dalam pasal 65 UU PA disebutkan bahwa, Gubernur dan wakil gubernur, Bupati dan wakil bupati dan Walikota dan wakil walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap lima (5) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
Atas dasar ketentuan tersebut, dalam pandangan A Kadir Jailani, pemilihan, baik DPRA, DPRK dan kepala daerah di Aceh sudah sangat pantas dilaksanakan bersamaan dengan Pemilu DPR, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden.
” Aceh adalah daerah khusus dan istimewa yang khususan dan keistimewaan diakui dan dihormati oleh undang undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945 NKRI),” terangnya.
Disebutkan Ketua DPRK Pidie Jaya ini, jika pelaksanaan Pemilihan di Aceh tidak dilaksanakan bersamaan dengan Pemilu nasional, akan cukup berpengaruh pada pembangunan Aceh secara berkelanjutan.
Sebab dampak dari pemisahan pemilihan itu, akan ada penunjukan kepala daerah yang memiliki legitimasi sangat lemah. Begitu juga dengan penambahan masa jabatan anggota DPRA dan DPRK selama dua tahun yang tidak ada dasar hukumnya.
” Pengalaman penunjukan Pj kepala daerah, legitimasi dan tanggung jawab terhadap rakyat sangat lemah, sehingga arah kebijakan pembangunan menjadi kacau. Begitu juga penambahan masa jabatan untuk anggota DPRA dan DPRA juga tidak ada dasar hukum kuat untuk itu,” ujar Pang Kade. (San).