Muda Seudang Bireuen Gaungkan Referendum

RAKYATACEH | BIREUEN– Keputusan Pemerintah Pusat yang menetapkan empat pulau di perairan Aceh ke dalam wilayah administrasi Sumatera Utara (Sumut), menuai gelombang protes keras dari masyarakat dan tokoh sipil di Aceh.

Pulau Mangkir Gadang (Besar), Mangkir Ketek (Kecil), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, yang selama ini diyakini sebagai bagian dari Aceh, kini tercatat secara administratif di Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022, yang kemudian diperbarui dengan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.

banner 336x280

Keputusan itu dinilai tidak hanya mengabaikan aspek historis dan geografis, tetapi juga dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap semangat Otonomi Khusus dan Nota Kesepahaman Helsinki 2005 yang menjadi tonggak perdamaian antara Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia.

“Perampasan empat pulau milik Aceh secara administratif tersebut, bukan soal koordinat, ini soal kedaulatan,” kata Sayed Chairul Raziq, Ketua DPW Muda Seudang Bireuen, dalam pernyataannya kepada Rakyat Aceh, Minggu (15/6).

Ia menyebutkan, pemindahan wilayah tersebut merupakan bentuk “perampokan administratif” yang sistematis dan disengaja, dengan tujuan menguasai potensi ekonomi strategis di wilayah pesisir Aceh.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pulau Mangkir Gadang (Besar) dan Pulau Mangkir Kretek (Kecil) dikenal sebagai kawasan dengan potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang kaya.

“Jika ini dibiarkan, apa jaminan ke depan Aceh tidak kehilangan lagi wilayah lainnya, kami lelah terus menjadi korban. Jika Pemerintah Indonesia tak mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan, maka wacana referendum layak dikedepankan sebagai bentuk perlawanan konstitusional,” ujar Sayed.

Sayed juga menyoroti lemahnya implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan menilai janji-janji dalam Otonomi Khusus (Otsus) hanya menjadi formalitas politik yang gagal menjawab kebutuhan rakyat Aceh secara riil.

READ  GeRAK Gelar Temu Rembuk Gerakan Sipil dengan Pengambil Kebijakan

“Aceh telah berulang kali dikecewakan. 70 persen sumber daya migas Aceh diambil untuk kepentingan pusat, yang kembali ke daerah hanyalah sisanya. Kini wilayah pun mulai dicabik. Di mana keadilannya,” tegas Ketua Muda Seudang Bireuen.

Ia menambahkan, jika pemerintah pusat tetap abai terhadap suara rakyat Aceh, maka tidak ada pilihan lain selain membawa persoalan ini ke forum Internasional.

“Timor Leste merdeka karena keadilan tak pernah datang. Papua pun terus menggugat. Kini, giliran Aceh bersuara. Jika perlu Pemerintah Aceh bisa membangun diplomasi luar negeri untuk membawa perkara ini sampai ke PBB dan menggugat ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice / ICJ). Ini bukan ancaman, ini peringatan, dan jika tidak digublis, kita siap di gerda terdepan menggaungkan referendum,” tegas Sayed. (akh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *