Promosi Tanpa Batas; ISBI Aceh dan Kacabdin Aceh Tenggara Hadirkan Panggung Budaya di Panggung Hut Aceh Tenggara ke-51

Oleh : Aris Munandar MAg Kepala Ajang Gelar dan Dokumentasi Seni Budaya Institut Seni Budaya Indonesia Aceh

25 Juni 2025 menjadi sebuah penanda istimewa bagi masyarakat Aceh Tenggara. Di bumi yang berhawa sejuk, diapit Bukit Barisan dan dilingkari sungai-sungai yang menghidupi, semarak Hari Jadi ke-51 Kabupaten Aceh Tenggara hadir tak sekadar berpesta. Ia menjadi wadah pertemuan, kolaborasi, bahkan perayaan peradaban.

Salah satu yang paling berkesan adalah hadirnya Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh. Bukan datang dengan cara biasa yang sekadar sosialisasi brosur, kuliah umum di aula sekolah, atau poster menempel di dinding kantor. Tahun ini, promosi ISBI Aceh hadir dalam bentuk paling manusiawi dengan menghadirkan pertunjukan seni, seminar budaya, dan pameran yang menggugah kesadaran kolektif akan pentingnya seni dan kebudayaan.

Itu sebabnya saya menyebutnya “promosi tanpa batas.” Batas-batas administratif antar-instansi dihapus. Batas nalar yang selama ini mengurung konsep promosi hanya di ruang-ruang sempit dirobohkan. Dan yang lebih penting, batas antara kampus dan masyarakat dihapuskan lewat seni.

Juni memang selalu menjadi bulan sibuk di Aceh Tenggara. Persiapan HUT kabupaten menuntut sinergi berbagai pihak. Di sela itu, ISBI Aceh sebenarnya sudah merencanakan kunjungan promosi biasa. Hubungan harmonis dengan Kantor Cabang Dinas Pendidikan (Kacabdin) Aceh Tenggara sudah lama terjalin.

Tak banyak yang menduga rencana itu akan membesar bak bola salju. Pada awalnya, ide promosi dirancang di halaman kantor Kacabdin. Namun dalam serangkaian rapat yang sarat antusiasme, usulan bergeser ke Balai Kabupaten. Dan akhirnya, lewat restu Pemkab Aceh Tenggara, puncaknya diintegrasikan dengan rangkaian acara HUT Aceh Tenggara ke-51.

Bayangkan. Sebuah rencana promosi sederhana berubah menjadi event budaya berskala kabupaten. Di sini, kita menyaksikan bagaimana kolaborasi bisa meruntuhkan tembok birokrasi yang kaku.

25 Juni 2025 pagi hari, Balai Kabupaten Aceh Tenggara bersolek dengan sederhana tapi anggun. Ruang itu menjadi saksi seminar “Napak Tilas Budaya Aceh Tenggara,” sebuah acara pembuka atas kehadiran ISBI Aceh yang bukan hanya formalitas seremonial, tetapi ruang refleksi akan akar budaya setempat.

READ  Saat Bepe Kehilangan Medali Juara Piala Presiden

Acara dibuka langsung oleh Bupati Aceh Tenggara. Hadir juga Rektor ISBI Aceh dan Ketua DWP ISBI Aceh. Kehadiran pimpinan tertinggi kampus seni negeri di Aceh itu menegaskan keseriusan misi promosi yang diusung.
Para peserta, dari pelajar, guru, pejabat, hingga tokoh masyarakat, larut dalam pembahasan tentang sejarah, identitas, dan tantangan pelestarian budaya lokal. ISBI Aceh tidak datang untuk mendikte. Mereka datang untuk mendengar, mencatat, dan berdiskusi. Seminar itu, bagi saya pribadi, lebih dari sekadar bagian promosi. Itu adalah bagian dari tanggung jawab moral kampus seni untuk merawat budaya daerah.

Jika pagi hari diwarnai suasana khidmat dan ilmiah, malam harinya berganti nuansa penuh gegap gempita. Di Lapangan Stadion Utama Kabupaten Aceh Tenggara, panggung besar berdiri tegak. Ribuan warga berkumpul, menantikan pertunjukan seni dan budaya.

Di sinilah ISBI Aceh menampilkan sisi terbaiknya. Bukan hanya menampilkan mahasiswa atau dosen sebagai penampil, tetapi menggandeng masyarakat, pelajar, bahkan artis Aceh ternama Lea Amalia yang kebetulan juga mahasiswa ISBI Aceh untuk tampil membawakan tembang hits “Ie Bungong.”

Penonton membludak. Animo di luar dugaan. Bahkan menurut laporan Kacabdin, peserta yang ingin tampil sampai harus diverifikasi ulang karena melebihi kuota. Sejenak, kita semua menyadari satu hal, masyarakat Aceh Tenggara haus akan hiburan bernilai budaya. Mereka ingin ruang untuk menikmati seni yang mencerminkan jati diri mereka.

Sebagai orang yang terlibat langsung dalam tim penyelenggara, saya ingin jujur, ini benar-benar di luar dugaan kami. Pada awalnya kami hanya ingin memperkenalkan ISBI Aceh pada pelajar SMA/SMK di Aceh Tenggara. Target rekrutmen mahasiswa tentu penting. Tapi malam itu, kami mendapat lebih dari sekadar data pendaftar potensial.

READ  Semangat Ramadan: Cerminan Semangat Mengembangkan Perekonomian di Aceh

Kami mendapat bukti bahwa promosi pendidikan tinggi seni bisa melibatkan, bahkan mempersatukan, masyarakat. Bahwa kampus bukan menara gading, melainkan bagian dari kehidupan sosial budaya.

Ada rasa haru yang tak bisa saya sembunyikan. Saya melihat penonton berdesakan, tertawa, bersorak, bertepuk tangan, menyalakan lampu ponsel saat lagu Lea Amalia berkumandang. Saya lihat anak-anak sekolah duduk bersila di depan panggung, mata mereka berbinar. Saya lihat orangtua yang barangkali tidak pernah mendengar nama ISBI Aceh sebelumnya, malam itu pulang dengan cerita yang tak akan mereka lupakan.

Tahun ini, bisa saya katakan dengan bangga, adalah salah satu momen promosi ISBI Aceh terbaik sejak berdiri. Sebelumnya kami sudah melakukan promosi inklusif di Museum Kota Juang Bireuen yang juga sangat berkesan. Tapi di Aceh Tenggara, skala, kemeriahan, dan partisipasi publik betul-betul luar biasa.

Bahkan banyak di antara kami bercanda menyebut malam itu seperti “Kongres Peradaban Aceh mini.” Sebuah pertemuan yang menyatukan identitas, kebanggaan, dan harapan akan masa depan seni dan budaya Aceh.

Penting untuk dicatat, semua ini tak akan terjadi tanpa kolaborasi yang erat. Kacabdin Aceh Tenggara bukan hanya fasilitator, tetapi mitra sejati. Kepala Kacabdin Aceh Tenggara, Jufri, S.Pd., adalah sosok yang visioner, cepat tanggap, dan sangat mendukung gagasan di luar kotak.

Pemkab Aceh Tenggara pun tak kalah penting perannya. Mengizinkan acara sebesar ini diintegrasikan ke perayaan HUT resmi adalah bukti keterbukaan terhadap inovasi promosi pendidikan.

Kami di ISBI Aceh memetik pelajaran penting bahwa promosi tak bisa dilakukan sendiri. Apalagi untuk perguruan tinggi seni. Kita perlu merangkul, mendengar, dan berkolaborasi. Hanya dengan itu kita bisa hadir sebagai milik bersama, bukan institusi asing di mata masyarakat.

READ  Siswa SMAN 10 Fajar Harapan Banda Aceh Lulus Top Ten Universitas di Indonesia

Setelah sukses di Aceh Tenggara, kabar baik mulai berdatangan. Bener Meriah menyatakan siap menggelar acara serupa pada akhir tahun ini. Aceh Tamiang pun sudah memberikan sinyal positif.

Kami di ISBI Aceh sangat antusias menantikan itu. Bagi kami, ini bukan hanya strategi pemasaran. Ini adalah misi. Tugas untuk menyemai kesadaran budaya, membuka akses pendidikan seni, dan merawat warisan Aceh melalui generasi baru.

Harapan saya pribadi, semoga pola kolaborasi ini bisa jadi contoh untuk daerah lain. Bukan hanya untuk ISBI Aceh, tapi untuk semua kampus di Aceh yang ingin mendekat ke masyarakat dengan cara bermartabat dan membahagiakan.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan ajakan yang sederhana. Mari kita lihat acara seperti di Aceh Tenggara ini bukan hanya urusan seremonial atau proyek tahunan. Ini adalah investasi sosial jangka panjang.

Saat pelajar melihat pentas budaya, mereka bukan hanya menonton tari atau mendengar musik. Mereka melihat kemungkinan. Melihat jalan hidup. Melihat kampus yang bukan asing tapi terbuka untuk mereka.

Saya mengajak semua pihak pemerintah daerah, sekolah, orang tua, penggiat seni, media untuk bersama mendukung kegiatan serupa. Seni bukan hanya soal hiburan. Seni adalah cermin, adalah jalan pulang menuju jati diri.

Di ISBI Aceh, kami siap terus berkolaborasi. Siap hadir di kabupaten manapun yang ingin membuka panggung bagi budayanya sendiri. Siap menjemput semua talenta muda yang ingin belajar dan memperkaya seni budaya Aceh.

Promosi tanpa batas. Kolaborasi tanpa sekat. Untuk Aceh yang lebih bermartabat, lebih indah, dan lebih membanggakan.

Bravo ISBI Aceh. Bravo Aceh Tenggara. Bravo untuk kita semua yang mencintai budaya kita sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *